2.1 Pengertian Kodifikasi
Kodifikasi secara etimologi berasal
dari kata codex yang berarti
undang-undang. Jadi secara terminologi pengkodifikasian hukum artinya
penyusunan peraturan-peraturan hukum secara sistematis, bulat, dan lengkap
dalam suatu kitab undang-undang oleh badan pemerintah yang berwenang.
Menurut Kansil didalam bukunya dijelaskan pengertian bahwa kodifikasi adalah
pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap. Sumber lain mengatakan bahwa kodifikasi
hukum adalah pembukuan hukum suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang
sama. Menurut Salmon (Fitzgerland, 1966 : 130) yang dikutip
Satjipto Rahardjo dalam bukunya tentang kodifikasi:
“Keseluruhan kecendrungan zaman
modern sekarang adalah kearah proses yang sejak zaman bentham, dikenal sebagai
kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus
jurus, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hukum perundang-undangan. Dalam
hal ini Inggris sangat ketinggalan disbanding dengan Eropa Daratan. Sejak
pertengahan abad kedelapanbelas prose situ
telah berlangsung di Negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah selesai sama
sekali. Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang terdiri dari hukum-hukum sipil,
gereja, kebiasaan, dan perundang-undangan yang disusun dengan sedikit banyak
keterampilan dan sukses ...”
Gambaran diatas menunjukkan
bagaimana kodifikasi dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu eropa
masih terdapat bermacam-macam jenis hukum, yang disebut oleh Salmon disebut
sebagai “Medley”.
Dari sumber-sumber
diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kodifikasi adalah pembukuan
undang-undang menurut jenis-jenisnya dengan unsur komponennya secara sistematis
dan lengkap. Dengan pembagian jenis-jenis seperti hukum perdata, hukum pidana,
hukum sipil, hukum gereja, dan lain sebagainya
Kebutuhan
pengkodifikasian sendiri didasarkan karena begitu banyaknya undang-undang dan
begitu sulitnya orang-orang untuk mencarinya. Pengkodifikasian sendiri telah
dimulai sejak zaman Romawi yaitu pada masa Kaisar Justianus dari Roma (527-565),
kodifikasi terbesar telah dilaksanakan dan hasil pekerjaan itu berupa
undang-undang Corpus Juris Justianus, yang terdiri atas tiga
bagian, yaitu: Institutione, Digesten atau
Pendekten, dan Codex. Nilai Kodifikasi ini begitu tinggi, sehingga menjadi pokok
pangkal pertumbuhan hukum di benua Eropa sampai sekarang ini. Dan
titik pangkal pengkodifikasian setelah zaman Romawi adalah ketika zamannya
Napoleon Bonaparte diPerancis dengan disusunnya Code Civil Napoleon. Sejarah kodifikasi nasional dimulai dari Code Civil Napoleon, karena sebelum ada
kodifikasi undang-undang tersebut di Perancis belum adanya kesatuan dan
kepastian hukum. Sejarah dari Romawi dan Perancis inilah akhirnya
melahirkan kodifikasi yang digunakan hingga saat ini untuk memudahkan
pengelompokkan undang-undang sesuai jenisnya.
Tujuan
umum dari kodifikasi agar adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum seperti
menurut Sutjipto Rahardjo dalam bukunya yaitu tujuan kodifikasi untuk membuat
kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah dikuasai tersusun secara
logis, serasi, dan pasti (Paton, 1971 : 221). Sumber lain
mengatakan bahwa tujuan kodifikasi agar didapat suatu Rechtseenheid (kesatuan
hukum) dan suatu Rechts-zakerheid (kepastian hukum). Ditambah lagi
sebagai penyempurna adalah pendapat Kansil dari bukunya bahwa tujuan kodifikasi
hukum adalah untuk memperoleh adanya kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan
kesatuan hukum.
Contoh
kodifikasi diIndonesia adalah:
1. KUHP : Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
WvS : Wetboek
van strafrecht
2.
KUHS : Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil
BW : Burgerlijk Wetboek
3.
KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
WvK : Wetboek
van Koophandel.
Setelah adanya kodifikasi hukum,
masyarakat berpikir terselesainya semua masalah tentang undang-undang itu
sendiri, tetapi kenyataannya tidak. Masih banyak masalah-masalah lain yang akan
timbul dan akan terus timbul dalam undang-undang, karena dalam hakekatnya
kehidupan manusia berkembang yang akan menimbulkan problem-problematika baru.
Untuk itu yang seharusnya dijaga adalah undang-undang yang ada dan yang
terkodifikasi tersebut untuk tetap dinamis sesuai perkembangan zaman. Karena
sisi negatif kodifikasi hukum adalah sifat hukum menjadi statis.
2.2 Sebab terjadinya kodifikasi
hukum
Sebab utama terjadinya kodifikasi
hukum adalah karena tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum wilayah
(pada saat ini bisa disebut Negara). Sebelum adanya kodifikasi hukum tiap-tiap
Negara masih menggunakan hukum adat yang berbeda-beda tiap suku dan
masyarakatnya. Seperti contohnya ketika tidak adanya kepastian hukum dan
kesatuan hukum di Negara Perancis, ketika Napoleon saat itu berkuasa dan
menjadi kaisar, akhirnya memerintahkan Portalis agar menyusun undang-undang
yang berlaku untuk seluruh Negara Perancis. Kemudian diberlakukan lah
undang-undang hukum Code Civil, yang dibukukan dalam kitab Undang-Undang Hukum
Code Civil dalam suatu kodifikasi.Di Indonesia, ketika
belum adanya kodifikasi hukum masih menggunakan hukum adat. Dan seperti yang
kita ketahui bahwa hukum adat yang ada dimasing-masing wilayah Indonesia sangat
banyak dan beragam. Hukum adat dimasing-masing daerah tersebut menetapkan
standar yang berbeda-beda antara satu suku dengan suku lain, tidak ada
standarisasi yang pasti tentang hukum secara nasional, tidak ada kesatuan hukum
yang digunakan untuk seluruh Indonesia. Ditambah dengan tidak adanya kepastian
hukum yang jelas, karena yang kita ketahui hukum ada yang ada merupakan hukum tidak tertulis,
sehingga tidak ada hukum tertulis yang memberikan kepastian hukum.
Seperti
contoh tentang warisan, ditiap-tiap daerah mempunyai hukum adat yang berbeda.
Di Sumatera Barat yang menggunakan garis keturunan keibuan (matrilineal), maka pembagian warisan pun
dibagikan lebih banyak keanak perempuan. Sedangkan di Sumatera Utara yang
menggunakan garis keturunan kebapakan (patrilineal)
sebaliknya, ketika pembagian warisan maka warisan pun lebih banyak dibagikan
kepada anak laki-laki.
Maka
demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum Indonesia memerlukan hukum yang
bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik
Indonesia.
2.3 Perkembangan Kodifikasi
Hukum
Dengan adanya Code Civil atau Code Napoleon timbullah anggapan bahwa :
·
Seluruh permasalahan hukum sudah
tertampung dalam undang-undang.
·
Diluar undang-undang tidak ada hukum
·
Hakim hanyamelaksanakanundang-undang
yang berlaku di seluruh Negara
Anggapan tersebut
merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme.
Pendukung aliran legisme ini
adalah ahli pikir Montesquieu dan J.J.Rousseau. Montesquieu dengan Trias Politikanya memusatkan
pemerintahan dalam 3 kekuasaan, yaitu :
1.
Kekuasaan membuat Undang-undang (badan
legislative)
2.
Kekuasaan melaksanakan Undang-undang
(badan eksekutif )
3.
KekuasaanmengadilipelanggarUndang-undang
(badan yudikatif )
Dengan system tersebut
diatas, Montesquieu berpendapat bahwa
diluar Undang-undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum diluar Undang-undang
satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang dan hakim hanya merupakan
mulut daripada Undang-undang.
Di samping Montesquieu masih ada ahli
pikir lain yaitu Jean Jaques Rousseau. Ia sependapat dengan Montesquieu. Dalam
mengembangkan pendapatnya ia memberikan beberapa ajaran, yaitu :
1. Souvereiniteits-theori
2. Contrac Social
Dalam souvereiniteits-theori, Jean Jaques Rousseau berpendapat bahwa
didalam Negara modern rakyat lah yang memegang kekuasaan dan kedaulatan berada
di tangan rakyat.
Code
civil Perancis dianggap sebagai Undang-undang yang
lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi perundang-undangan di Amerika dan
Negara Eropa Barat. Negara tersebut meniru dan mengambil Undang-undang Perancis
dengan asas resepsi dengan menyesuaikan keadaan nasional Negara tersebut.
Pada saat negeri
Belanda dijajah oleh Perancis (1811-1812). Meskipun Perancis telah meninggalkan
Belanda pada tahun 1812 tapi Belanda masih memberlakukan Code Civil sampai
negeri itu mempunyai Undang-undang sendiri yaitu Burgerlijk Wetboek pada tahun 1835.
Baik kodifikasi hukum
Perancis maupun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar dapat kepastian
hukum.Dengan adanya kodifikasi diharapkan tidak ada lagi hukum diluar
undang-undang.
2.4
Perkembangan Kodifikasi Hukum Di
Indonesia
Burgerlijk
Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu
itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak tanggal 1 Mei 1948
diberlakukan Burgerlijk Wetboek voor Nederlandsch-Indie
bagi penduduk Hindia Belanda golongan Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan
berlaku bagi penduduk golongan Timur Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi
golongan Timur Asing lainnya, dan pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda
golongan Bumi Putera.
PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang berlaku mulai saat
itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada undang-undang lainnya,
sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan
hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan
Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala badan kenegaraan dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”.
Peraturan peralihan tersebut merupakan
hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada
penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama
mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain
adalah :
1.
Undang-undang Pokok Agrarian ( UU
No.5/1960)
2.
Undang-undang Merek (UU No.21/1967)
diganti dengan UU No.19/1992
3.
Undang-undang Perkoperasian (UU
No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
4.
Dan sebagainya.
2.5
Perkembangan Kodifikasi Hukum Di Eropa Barat
Kodifikasi hukum
pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis
memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya
adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan
mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan
juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan
Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah
Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code
de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan
asas konkordansi.
Di Negara Eropa Barat
tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata, KUUH Dagang, dan KUUH Pidana sebagai
Undang-undang.
Pendukung pandangan tersebut antara lain
:
·
Dr. Frederich dari Jerman yang
mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah
hukum yang ada.
·
Dr. Van Swinderen dari Belanda yang
mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu
tentang hukum dan isinya cukup jelas.
2.6 Aliran-Aliran Hukum yang Timbul
Kemudian
Aliran
Freie Rechtlehre
Aliran ini muncul pada
tahun 1840, karena aliran legisme dianggap tidak memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut paham Freie Rechts lehre berpendapat bahwa hukum terdapat
didalam masyarakat
berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam. Aliran Freie Rechts lehre
berkembang menjadi dua aliran, yaitu :
1.
Aliran hukum bebas sosiologis yang
berpendapat bahwa hukum bebas itu kebiasaan dalam masyarakat yang berkembang
secara sosiologis.
2.
Aliran hukum beba snatuurrechtlij yang
berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah hukum alam.
Aliran
Rechtvinding
Aliran Rechtvinding adalah aliran diantara
aliran legisme dan aliran freierechtslehre. Aliran rechtvinding berpendapat bahwa hukum terdapat
dalam UU yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Kansil,
C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rahardjo,
Sacipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Sieroso,
R. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Syarifin,
Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum.
Bandung: Pustaka Setia
Manan,
Abdul. 2005. Aspek-Aspek Pengubah Hukum.
Syahrani, Ridwan. 1991. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Kartini.