Senin, 03 Desember 2012

Kodifikasi


2.1 Pengertian Kodifikasi
            Kodifikasi secara etimologi berasal dari kata codex yang berarti undang-undang. Jadi secara terminologi pengkodifikasian hukum artinya penyusunan peraturan-peraturan hukum secara sistematis, bulat, dan lengkap dalam suatu kitab undang-undang oleh badan pemerintah yang berwenang. Menurut Kansil didalam bukunya dijelaskan pengertian bahwa kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Sumber lain mengatakan bahwa kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama. Menurut Salmon (Fitzgerland, 1966 : 130) yang dikutip Satjipto Rahardjo dalam bukunya tentang kodifikasi:
            “Keseluruhan kecendrungan zaman modern sekarang adalah kearah proses yang sejak zaman bentham, dikenal sebagai kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus jurus, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hukum perundang-undangan. Dalam hal ini Inggris sangat ketinggalan disbanding dengan Eropa Daratan. Sejak pertengahan abad kedelapanbelas prose situ telah berlangsung di Negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah selesai sama sekali. Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang terdiri dari hukum-hukum sipil, gereja, kebiasaan, dan perundang-undangan yang disusun dengan sedikit banyak keterampilan dan sukses ...”
            Gambaran diatas menunjukkan bagaimana kodifikasi dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu eropa masih terdapat bermacam-macam jenis hukum, yang disebut oleh Salmon disebut sebagai “Medley”.
Dari sumber-sumber diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kodifikasi adalah pembukuan undang-undang menurut jenis-jenisnya dengan unsur komponennya secara sistematis dan lengkap. Dengan pembagian jenis-jenis seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum sipil, hukum gereja, dan lain sebagainya

Kebutuhan pengkodifikasian sendiri didasarkan karena begitu banyaknya undang-undang dan begitu sulitnya orang-orang untuk mencarinya. Pengkodifikasian sendiri telah dimulai sejak zaman Romawi yaitu pada masa Kaisar Justianus dari Roma (527-565), kodifikasi terbesar telah dilaksanakan dan hasil pekerjaan itu berupa undang-undang Corpus Juris Justianus, yang terdiri atas tiga bagian, yaitu: Institutione, Digesten atau Pendekten, dan Codex. Nilai Kodifikasi ini begitu tinggi, sehingga menjadi pokok pangkal pertumbuhan hukum di benua Eropa sampai sekarang ini. Dan titik pangkal pengkodifikasian setelah zaman Romawi adalah ketika zamannya Napoleon Bonaparte diPerancis dengan disusunnya Code Civil Napoleon. Sejarah kodifikasi nasional dimulai dari Code Civil Napoleon, karena sebelum ada kodifikasi undang-undang tersebut di Perancis belum adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sejarah dari Romawi dan Perancis inilah akhirnya melahirkan kodifikasi yang digunakan hingga saat ini untuk memudahkan pengelompokkan undang-undang sesuai jenisnya.
Tujuan umum dari kodifikasi agar adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum seperti menurut Sutjipto Rahardjo dalam bukunya yaitu tujuan kodifikasi untuk membuat kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah dikuasai tersusun secara logis, serasi, dan pasti (Paton, 1971 : 221). Sumber lain mengatakan bahwa tujuan kodifikasi agar didapat suatu Rechtseenheid (kesatuan hukum) dan suatu Rechts-zakerheid (kepastian hukum). Ditambah lagi sebagai penyempurna adalah pendapat Kansil dari bukunya bahwa tujuan kodifikasi hukum adalah untuk memperoleh adanya kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum.
Contoh kodifikasi diIndonesia adalah:
1.      KUHP       : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
WvS          : Wetboek van strafrecht
2.      KUHS       : Kitab Undang-Undang Hukum Sipil
BW            : Burgerlijk Wetboek
3.      KUHD      : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
WvK         : Wetboek van Koophandel.
            Setelah adanya kodifikasi hukum, masyarakat berpikir terselesainya semua masalah tentang undang-undang itu sendiri, tetapi kenyataannya tidak. Masih banyak masalah-masalah lain yang akan timbul dan akan terus timbul dalam undang-undang, karena dalam hakekatnya kehidupan manusia berkembang yang akan menimbulkan problem-problematika baru. Untuk itu yang seharusnya dijaga adalah undang-undang yang ada dan yang terkodifikasi tersebut untuk tetap dinamis sesuai perkembangan zaman. Karena sisi negatif kodifikasi hukum adalah sifat hukum menjadi statis.
2.2 Sebab terjadinya kodifikasi hukum
            Sebab utama terjadinya kodifikasi hukum adalah karena tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum wilayah (pada saat ini bisa disebut Negara). Sebelum adanya kodifikasi hukum tiap-tiap Negara masih menggunakan hukum adat yang berbeda-beda tiap suku dan masyarakatnya. Seperti contohnya ketika tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di Negara Perancis, ketika Napoleon saat itu berkuasa dan menjadi kaisar, akhirnya memerintahkan Portalis agar menyusun undang-undang yang berlaku untuk seluruh Negara Perancis. Kemudian diberlakukan lah undang-undang hukum Code Civil, yang dibukukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Code Civil dalam suatu kodifikasi.Di Indonesia, ketika belum adanya kodifikasi hukum masih menggunakan hukum adat. Dan seperti yang kita ketahui bahwa hukum adat yang ada dimasing-masing wilayah Indonesia sangat banyak dan beragam. Hukum adat dimasing-masing daerah tersebut menetapkan standar yang berbeda-beda antara satu suku dengan suku lain, tidak ada standarisasi yang pasti tentang hukum secara nasional, tidak ada kesatuan hukum yang digunakan untuk seluruh Indonesia. Ditambah dengan tidak adanya kepastian hukum yang jelas, karena yang kita ketahui hukum ada yang ada merupakan hukum tidak tertulis, sehingga tidak ada hukum tertulis yang memberikan kepastian hukum.
Seperti contoh tentang warisan, ditiap-tiap daerah mempunyai hukum adat yang berbeda. Di Sumatera Barat yang menggunakan garis keturunan keibuan (matrilineal), maka pembagian warisan pun dibagikan lebih banyak keanak perempuan. Sedangkan di Sumatera Utara yang menggunakan garis keturunan kebapakan (patrilineal) sebaliknya, ketika pembagian warisan maka warisan pun lebih banyak dibagikan kepada anak laki-laki.
Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
2.3 Perkembangan Kodifikasi Hukum

Dengan adanya Code Civil atau Code Napoleon timbullah anggapan bahwa :
·         Seluruh permasalahan hukum sudah tertampung dalam undang-undang.
·         Diluar undang-undang tidak ada hukum
·         Hakim hanyamelaksanakanundang-undang yang berlaku di seluruh Negara
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme. Pendukung aliran legisme ini adalah ahli pikir Montesquieu dan J.J.Rousseau. Montesquieu dengan Trias Politikanya memusatkan pemerintahan dalam 3 kekuasaan, yaitu :
1.         Kekuasaan membuat Undang-undang (badan legislative)
2.         Kekuasaan melaksanakan Undang-undang (badan eksekutif )
3.         KekuasaanmengadilipelanggarUndang-undang (badan yudikatif )
Dengan system tersebut diatas,  Montesquieu berpendapat bahwa diluar Undang-undang tidak ada hukum. Dengan tidak adanya hukum diluar Undang-undang satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang dan hakim hanya merupakan mulut  daripada Undang-undang.
Di samping Montesquieu masih ada ahli pikir lain yaitu Jean Jaques Rousseau. Ia sependapat dengan Montesquieu. Dalam mengembangkan pendapatnya ia memberikan beberapa ajaran, yaitu :
1.      Souvereiniteits-theori
2.      Contrac  Social
Dalam souvereiniteits-theori,  Jean Jaques Rousseau berpendapat bahwa didalam Negara modern rakyat lah yang memegang kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Code civil Perancis dianggap sebagai Undang-undang yang lengkap dan sempurna ternyata mempengaruhi perundang-undangan di Amerika dan Negara Eropa Barat. Negara tersebut meniru dan mengambil Undang-undang Perancis dengan asas resepsi dengan menyesuaikan keadaan nasional Negara tersebut.
Pada saat negeri Belanda dijajah oleh Perancis (1811-1812). Meskipun Perancis telah meninggalkan Belanda pada tahun 1812 tapi Belanda masih memberlakukan Code Civil sampai negeri itu mempunyai Undang-undang sendiri yaitu Burgerlijk Wetboek pada tahun 1835.
Baik kodifikasi hukum Perancis maupun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar dapat kepastian hukum.Dengan adanya kodifikasi diharapkan tidak ada lagi hukum diluar undang-undang.

2.4 Perkembangan  Kodifikasi Hukum Di Indonesia
Burgerlijk Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak tanggal 1 Mei 1948 diberlakukan Burgerlijk Wetboek voor Nederlandsch-Indie bagi penduduk Hindia Belanda golongan Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan berlaku bagi penduduk golongan Timur Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi golongan Timur Asing lainnya, dan pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan Bumi Putera.
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Segala badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”.
Peraturan peralihan tersebut merupakan hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain adalah :
1.         Undang-undang Pokok Agrarian ( UU No.5/1960)
2.         Undang-undang Merek (UU No.21/1967) diganti dengan UU No.19/1992
3.         Undang-undang Perkoperasian (UU No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
4.         Dan sebagainya.

2.5 Perkembangan Kodifikasi Hukum Di Eropa Barat
Kodifikasi hukum pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan asas konkordansi. 
Di Negara Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata, KUUH Dagang, dan KUUH Pidana sebagai Undang-undang.
Pendukung pandangan tersebut antara lain :
·         Dr. Frederich dari Jerman yang mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah hukum yang ada.
·         Dr. Van Swinderen dari Belanda yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu tentang hukum dan isinya cukup jelas.

2.6  Aliran-Aliran Hukum yang Timbul Kemudian
Aliran Freie Rechtlehre
Aliran ini muncul pada tahun 1840, karena aliran legisme dianggap tidak memenuhi
kebutuhan masyarakat. Menurut paham Freie Rechts lehre berpendapat bahwa hukum terdapat
didalam masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam. Aliran Freie Rechts lehre berkembang menjadi dua aliran, yaitu :
1.         Aliran hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu kebiasaan dalam masyarakat yang berkembang secara sosiologis.
2.         Aliran hukum beba snatuurrechtlij yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah hukum alam.

Aliran Rechtvinding
Aliran Rechtvinding adalah aliran diantara aliran legisme dan aliran freierechtslehre. Aliran rechtvinding berpendapat bahwa hukum terdapat dalam UU yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.

 Daftar Pustaka
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rahardjo, Sacipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sieroso, R. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Syarifin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia
Manan, Abdul. 2005. Aspek-Aspek Pengubah Hukum.
Syahrani,  Ridwan. 1991. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Kartini.






















[1]3Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP.,M.Hum. Aspek-aspek Pengubah Hukum, 2005, hal.35
7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar